Museum W.R. Supratman: Saksi dari Perjuangan Pemuda Indonesia

Diatas awan, saya hanya bisa melihat ke kiri dan kanan. Entah kenapa yang biasanya saya selalu tidur dengan pulas ketika melakukan perjalanan di pesawat, kali ini saya hanya terpelongok dan kadang sedikit bergumam.

Perjalanan yang hanya ditempuh selama 1,5 jam ke Surabaya ternyata sangat sebentar. Mungkin karena saya keseringan pulang ke Medan yang waktu tempuhnya 2,5 jam kali ya. Hahaha.

Saya pergi ke Surabaya sendirian demi mengikuti karantina dalam ajang Muda Sabudarta Indonesia 2016. Setelah sampai di Bandara Juanda, saya naik damri menuju Kota Surabaya, lalu memesan taksi online menuju hotel salah satu finalis Muda Sabudarta 2016, yaitu Bang Nafi.

"Halo bang, aku Iqbal" sapa aku saat pertama kali bertemu Bang Nafi.

Perkenalan singkat itu membuat saya cepat akrab dengannya. Bang Nafi akan check out hotel pada jam 1 siang. Dia akan dijemput oleh finalis lainnya yang memang tinggal di Surabaya, yaitu Bang Roni. Sedangkan saya sudah janjian untuk bermalam di rumah teman sewaktu SMA.

Rencana singkat untuk menejelajah Kota Surabaya di mulai! Berbekal aplikasi taksi online, saya dan bang Nafi siap menjelajah Kota Surabaya. Tujuan pertama kami adalah ke de Mata Trick Eye Museum yang terletak di Surabaya Town Square (Sutos). Museum ini merupakan museum 3D yang sangat cocok buat untuk foto-foto gokil.

Selama perjalanan, kami hanya mendengar celotehan supir taksi tentang Kota Surabaya. Lumayan, nambah informasi.

"Makasih ya mas" Uang sebesar 27 ribu saya kasih ke supir tersebut. Kami turun dari mobil, lalu celingak-celinguk mencari de Mata Trick Eye Museum. Kemudian naik ke lantai dua dan akhirnya menemukan museum tersebut. Sialnya, kegirangan kami langsung buyar ketika melihat tulisan "Under Construction until 20 October"

"SHIIIIT! Ongkos udah mahal kesini eh malah tutup" Ujar saya ke Bang Nafi.

"Padahal besok udah buka loh" Bang Nafi membalas ucapanku dengan logat jawa-nya.

Dengan kecewa, kami mengelilingi lantai dua tersebut berharap ada suatu tempat yang menarik untuk didatangin. Sambil berjalan, aku mengecek hape dan mencari tempat wisata  yang berbau sejarah, yang jarang dikunjungin oleh masyarakat disini.

Museum W.R. Supratman

Saya dan Bang Nafi akhirnya memutuskan untuk pergi ke Museum W.R. Supratman. Selain karena banyak orang yang belum tahu mengenai museum ini, Museum W.R. Supratman juga memiliki keunikan yang sama dengan Museum Basoeki Abdullah. Sama-sama rumah pribadinya dijadikan museum oleh pemerintah.

Kami menaiki taksi online yang sebelumnya sudah dipesan. Uniknya, supir yang mengantar kami dari hotel ke Sutos sama. Pembicaraan di mobil pun kembali seputar Kota Surabaya ditambah bumbu-bumbu politik ibukota.

Saya sering sekali menjumpai supir taksi online yang tidak tahu jalan. Sama seperti supir taksi yang sedang kami naiki ini. Dia gak tahu jalan ke Museum W.R. Supratman. Bukan cuma tidak tahu jalan aja, bahkan dia aja baru tahu kalau Museum W.R. Supratman terdapat di Surabaya.

Kami diberhentikan di pinggir jalan oleh supir taksi tersebut dikarenakan Museum W.R. Supratman berada di jalan kecil yang sulit dilintasi oleh mobil. Sekitar lima menit kami berjalan, sampailah kami di Museum W.R. Supratman.

Di depan Museum tersebut, terlihat sebuah patung seseorang yang sedang bermain biola. Tentunya yang sedang bermain biola tersebut adalah W.R. Supratman.

Beruntungnya kami melihat pagar pintu masuk ke museum tidak digembok. Biasanya, kalau ingin masuk ke museum, kita harus meminta izin dulu ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkot Surabaya.


Museum ini ternyata sangat kecil. Hanya terdapat dua ruangan yang dijadikan sebagai .pameran. Wajar saja, museum ini dulunya merupakan rumah pribadinya W.R. Supratman. Di ruang tengah terdapat lirik lagu Indonesia Raya yang asli. Namun, kertas yang dipamerkan di museum ini merupakan replika dari kertas yang asli.

Sekilas mengenai W.R. Supratman, beliau dilahirkan pada tanggal 9 Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Beliau merupakan pencipta lagu Indonesia Raya yang selama ini kita nyanyikan.

Setelah mengisi buku tamu, kami langsung menjelajah ruangan-ruangan yang ada. Sejujurnya, jika hanya melihat koleksi foto-foto tersebut, saya tidak mengerti. Dengan inisiatif sendiri, saya ke depan dan mengajak ngobrol penjaga museum tersebut.

Penjaga museum tersebut sangat menguasai sejarah hidup W.R. Supratman. Cara dia menjelaskan pun enak dan cepat dimengerti, padahal dia bukanlah seorang tour guide. Disetiap ruangan, saya selalu menunjuk foto dan penjaga museum pun dengan ikhlas menjelaskannya.

Banyak informasi yang saya dapat dari si penjaga museum. Pertama mengenai nama Wage Rudolf Supratman. Dahulu, saya mengira bahwa W.R. Supratman merupakan penganut non-islam. Kenyataannya, beliau merupakan seorang islam. Nama Rudolf yang terdapat di namanya merupakan nama pemberian agar dia dapat bersekolah di Belanda.

Kedua adalah lagu Indonesia Raya jauh sudah lama dibuat sebelum Indonesia merdeka. Lagu Indonesia pertama kali didengarkan ketika penutupan kongres sumpah pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Namun, pada saat itu W.R. Supratman hanya memutarnya secara instrumental. Sejak saat itu pula setelah penutupan kongres sumpah pemuda, lagu Indonesia Raya selalu didengarkan di setiap kongres, walaupun Belanda menloak dengan keras diputarnya lagu tersebut.

Informasi yang ketiga ini benar-benar sangat unik. Tanggal meninggalnya W.R. Supratman sama persis dengan tanggal Indonesia merdeka yaitu 17 Agustus. W.R. Supratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938. Artinya, 7 tahun setelah W.R. Supratman meninggal, Indonesia merdeka. Menarik bukan?

Kemudian, saya melihat foto-foto yang terdapat di ruang tengah. Selain lirik lagu Indonesia Raya yang ditulis asli oleh W.R. Supratman, di ruang ini juga terdapat foto-foto W.R. Supratman ketika masih muda. Kali ini, penjaga museum langsung menjelaskan secara detail masa muda W.R. Supratman yang penuh perjuangan tanpa saya tanya.


Penjaga museum tersebut juga memberitahu bahwa makam W.R. Supratman letaknya juga berdekatan dengan museum ini, yaitu di Jalan Kenjeran Surabaya. Lalu, ia menjelaskan bahwa makam W.R. Supratman dulu sempat dibongkar oleh pemerintah. W.R. Supratman meninggal pada usia muda dan sebelum Indonesia merdeka, sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya merupakan pahlawan nasional. Sekarang, makam W.R. Supratman sudah dipugar dan dihias dengan cantik. Sayangnya, saya belum sempat untuk datang ke makamnya. Hehe.



"Kalau disini cuma ada replika biola W.R. Supratman dan teks lagu Indonesia Raya yang pernah dibuat beliau, tapi itu hanya fotokopian disini" Kata sang penjaga museum.

Saya memang sudah mengetahui keberadaan biola dan teks lagu Indonesia Raya yang asli yaitu di Musem Nasional Indonesia. Jadi, sebenarnya museum ini hanya memiliki koleksi foto-foto W.R. Supratman ketika beliau masih hidup.

Sebelum meninggalkan museum, saya sempat melihat pesan terakhir dari W.R. Supratman sebelum beliau meninggal.

”Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal saja ikhlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan carakoe, dengan bolakoe, saja jakin Indonesia pasti Merdeka”
Pesan tersebut membuat batin saya merinding. W.R. Supratman memang benar-benar seorang pejuang sejati. Bahkan dalam keadaan sakit-sakitan, beliau tetap meyakinkan para pemuda bahwa Indonesia pasti bisa merdeka.

Terbukti, hari ini kita sudah 71 tahun merdeka. Para pemuda zaman dahulu telah memperjuangkannya buat kita. Empat hari lalu kita baru merayakan Hari Sumpah Pemuda. Namun, sudahkah kita benar-benar mengamalkan sumpah pemuda tersebut dan berjuang demi masa depan bangsa?

No comments:

Post a Comment