Museum Tjong A Fie: Saksi kerukunan Antar Suku di Kota Medan

Yap, sesuai janji, aku mau nyeritain pengalaman ketika masuk ke Museum Tjong A Fie yang berada di Kota Medan. Sebelumnya, aku mau ngasih tau siapa Tjong A Fie ini.

Tjong A Fie adalah warga negara Tiongkok. Ia dilahirkan di desa Sungkow pada tahun 1860. Yang saya dengar dari pemandu museumnya, sebenarnya Tjong A Fie ini berasal dari keluarga yang sederhana. Pada umur 18 tahun ia pergi merantau ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. Pada tahun 1880 Tjong A Fie pun berlabuh di Labuhan Deli.

Tjong A Fie lalu bekerja untuk Belanda. Ia diangkat menjadi Letnan (lieutenant) Tionghoa. Pekerjaannya inilah, Tjong A Fie lalu dipindahkan ke Medan. Dengan prestasinya yang gemilang membuat pangkat Tjong A Fie naik menjadi kapten (kapitein) pada tahun 1911. Ia dikenal sebagai orang yang ulet dan tangguh dalam bekerja. Selain dikenal masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie juga dikenal di kalangan masyarakat India, Melayu, Arab, dan para pemuka Belanda.

Sekilas begitulah sejarah siapakah Tjong A Fie itu. Untuk memperingati 150 tahun kelahirannya, keluarga Tjong A Fie membuka Tjong A Fie Mansion untuk umum pada tanggal 18 Juni 2009. Ini merupakan salah satu usaha untuk melestarikan sejarah.

Aku pergi ke museum ini pada tanggal 31 Juli 2014. Ternyata, di museum ini terdapat dua tempat pintu masuk. Yang dibelakang dan yang di depan. Di depan tempat masuk untuk umum. Sedangkan di belakang tempat masuk untuk keluarga. Dan yang paling keren adalah kami masuk dari belakang. Ada tukang kebersihan museum keluar dari pintu kebelakang. Kami kira, pintu masuk memang lewat situ. Yaudah kami masuk lewat pintu belakang :))

Harga tiket untuk masuk ke museum ini adalah sebesar Rp 35.000. Setelah membeli tiket, barulah kami masuk. Harga tiket tersebut juga sudah termasuk pemandunya (tour guide). Pertama kali aku masuk, terlihat sebuah ruang tamu yang lumayan luas. Dekorasinya membuat kita seperti kembali ke zaman dulu. Aku lumayan takjub melihatnya.

Bangunan museum ini terdiri dari dua lantai dengan bangunan utama dan paviliun. Total kamar yang terdapat di rumah Tjong A Fie ini adalah 40 kamar. Namun, tidak semua kamar dibuka untuk pengunjung/umum. Masih banyak kamar yang belum dijadikan objek di museum. Selain itu, cucu-cucu Tjong A Fie masih ada yang tinggal di museum ini. Wajar saja jika kamar masih banyak yang ditutup.

Pintu masuk bagian depan

Penampakan di halaman

Yang bikin aku lumayan takjub adalah rumah Tjong A Fie ini memiliki empat buah ruang tamu. Dutch Lounge Room, tempat menerima tamu dari golongan orang-orang eropa. Ruang tamu kedua adalah Deli Lounge Room, tempat Tjong A Fie menerima teman baiknya, Sultan Deli Makmun Al Rasjid. Ruang tamu ketiga untuk menerima orang-orang Tionghoa. Sedangkan ruang tamu keempat yaitu Ruang Tamu Utama tempat menerima masyarakat umum. Juga ada dua buah Altar Sembahyang, satu di lantai bawah dan satu lagi di lantai atas. Namun, Altar Sembahyang di lantai dua tertutup bagi umum. Melihat bermacam-macam ruang tamu yang dibuat olehTjong A Fie, aku semakin yakin kalo dia dulu memang orang yang dermawan, pandai memikat hati masyarakat sekitar, dan yang pasti bisa menghargai tamu-tamunya yang memiliki latar kebudayaan yang berbeda.

Ketika memasuki Altar Sembahyang yang di lantai satu, entah kenapa aku merasa merinding dan sepi. Padahal banyak orang yang berlalu-lalang melintasi Altar Sembahyang tersebut. Pemandunya lalu bercerita bahwa sebelum rumah Tjong A Fie menjadi museum, di Altar Sembahyang lantai satu ini pernah diadakan acara dunia lain. Pada episode tersebut, seluruh peserta tidak ada yang berhasil melakukan uji nyali. Mendengar tersebut, aku langsung jadi merinding. Info yang paling penting di Altar Sembahyang lantai satu adalah 'kita gak boleh foto Altar Sembahyang ini'. Bukan karena apa-apa, takut terjadi penampakan. Di museum ini kan kita ingin tahu sisi sejarahnya, bukan hal gaib-nya.

Altar sembahyang di lantai satu
Di bagian belakang terdapat kamar pribadi Tjong A Fie dulu. Lagi-lagi aku merasakan aura kasih. Ups, maaf, aura negatif maksudnya. Baru sejengkal memasuki kamar pribadinya Tjong A Fie, aku langsung merinding. Bulu kuduk pada naik. Aku melihat arsitektur dan lukisan-lukisan yang terdapat di kamarnya Tjong A Fie. Di sana terdapat lukisan orang Belanda, yang kalo diperhatikan lumayan serem. Sambil mendengarkan tour guide-nya, aku juga berfoto di kamar itu. Yang bikin aku kepincut sih berfoto di tempat tidurnya Tjong A Fie. Kayu tempat tidurnya disini masih asli. Hanya kasurnya saja yang sudah diganti. Oh ya, kalo berfoto di kamar ini, kita tidak boleh menggunakan flash. Kata pemandunya, dari seluruh kamar/ruangan yang terdapat di museum, kamar inilah yang 90% perabotannya masih asli seperti dulu. Kalo make flash, ntar kayu-kayu prabotannya cepat lapuk/rusak.





Selanjutnya kami menaiki lantai kedua. Di lantai dua ini terdapat perjamuan tamu dan lantai dansa. Barang-barang yang terdapat di lantai dansa kebanyakan sudah dijual. Setelah jadi museum, di tempat lantai dansa ini dijadikan semacam galeri yang menampilkan foto-foto zaman dulu yang berkaitan dengan Tjong A Fie. Di dekat lantai dansa ini juga terdapat ruang audio dan visual di zamannya Tjong A Fie. Namun, ruangan ini masih dalam proses pembuatannya.

Ketika berada di lantai dua
Bangunan rumah Tjong A Fie ini merupakan saksi sejarah yang tak ternilai harganya. Bangunan ini juga memperlihatkan keragaman multietnis di Kota Medan yang rukun. Untung saja pemerintah telah menetapkan bangunan ini menjadi cagar budaya nasional pada tahun 2010, jadi akan lebih terkelola.

No comments:

Post a Comment